Selamat Datang di pengadilan agama Samarinda   Click to listen highlighted text! Selamat Datang di pengadilan agama Samarinda Powered By GSpeech

WhatsApp Image 2020 02 15 at 13.34.59

×

Warning

RokSprocket needs the RokCommon Library and Plug-in installed and enabled. The RokCommon System Plug-in needs to be before the RokSprocket System Plug-in in the Plug-in Manager
RokGallery needs the RokCommon Library and Plug-in installed and enabled.

on . Hits: 12135

MENIMBANG PENCATATAN PERKAWINAN DIJADIKAN SEBAGAI SYARAT SAHNYA PERKAWINAN

OLEH: Rukayah, S.AG.,M.H.

(Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda)

 INFOGRAFIS 2024 1

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang  diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) :

  • Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, eksistensi prinsip pencatatan perkawinan menentukan kesahan suatu perkawinan, artinya selain mengikuti ketentuan masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, juga sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu pencatatan dan pembuatan akta perkawinan merupakan suatu kewajiban dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia, namun dalam praktiknya kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan menimbulkan makna hukum ambiguitas, karena kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan bagi setiap perkawinan dianggap hanya sebagai kewajiban administratif belaka, bukan penentu kesahan suatu perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang tidak terkait dan tidak menentukan kesahan suatu perkawinan yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.

Ambiguitas substansi hukum yang termuat dalam Pasal 2 UU 1/1974 tersebut tidak hanya membuat masyarakat menjadi bimbang dengan aturan yang ada, tetapi juga menjadikan hukum tidak berjalan efektif.[1] Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum[2].

Bila dicermati ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974, kemudian dihubungkan dengan prinsip pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang bersifat ambiguitas dan memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Hal ini dikemukakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida Indrati yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan: “Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah. Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Seturut dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima. Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.[3]

Pembahasan tentang administrasi pencatatan perkawinan memang tidak ditemukan dalam  kitab-kitab fikih klasik oleh karenanya umat Islam yang berfikir fikih sentris menganggap remeh dan cenderung mengabaikan pencatatan perkawinan oleh lembaga negara yang resmi dengan dalih bahwa dalam Al-Qur'an dan Hadits tidak ditemukan secara tekstual keharusan pencatatan perkawinan. Hal ini berbeda dengan urusan mudayanah (hutang-piutang) yang akadnya diharuskan untuk dicatat. Pencatatan pernikahan pada masa Rasulullah dilakukan dengan cara  pernikahan benar-benar diketahui warga masyarakat. Karena itu pernikahan diselenggarakan dengan cara di’ilankan, atau diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-’ursy. Dalam kaitan ini, Nabi SAW bersabda: 

Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah)

Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing (HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf)

Pada sisi lain ada sebagian masyarakat menggunakan paradigma berfikir fikih dan perundang-undangan sekaligus yang berupaya menyosialisasikan manfaat dan keuntungan pencatatan perkawinan. Esensi pencatatan perkawinan selain bertujuan untuk tertib administrasi,  memberikan kepastian dan perlindungan  terhadap status hukum suami istri dan yang terpenting  adalah untuk melindungi hak- hak perempuan dan anak- anak akibat dari perkawinan itu sendiri seperti hak waris, kejelasan status anak maupun untuk melindungi hak- hak perempuan dan anak- anak akibat dari perceraian seperti terjaminnya nafkah anak pasca perceraian orang tuanya, nafkah iddah dan mut’ah istri yang diceraikan maupun pembagian harta bersama.

Pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki- laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai istri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam sidang pada hari Jum'at, tanggal 8 Jumadil Ula 1428 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 25 Mei 2007 telah memfatwakan bagi warga Muhammadiyah, bahwa wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Dalam pertimbangan hukumnya disebutkan, bahwa keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, di-qiyas-kan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.[4]

Potensi masalah yang timbul dalam perkawinan yang tidak tercatat adalah negara akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak jika terjadi konflik dalam rumah tangga akibat tidak memilik bukti otentik berupa akta nikah yang bisa dijadikan pegangan bila terjadi persoalan atau sengketa hukum dikemudian hari. Anak- anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut juga hanya diakui oleh negara sebagai anak di luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja.

Begitu pentingnya pencatatan perkawinan terlebih KUA sudah tersebar di seantero nusantara sehingga sudah tidak ada alasan untuk tidak mencatat perkawinan, sudah saatnya pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sahnya perkawinan bukan hanya sekedar urusan administratif semata.

[1] Ahmad Tholabi Kharlie, 2013, “Hukum Keluarga Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 191.

[2] D.Y. Witanto, 2012, “Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 142.

[3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Pebruari 2012, hlm. 39-40.

[4] Lihat Bahan Munas Tarjih Muhammadiyah, “Fikih Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah”, disampaikan di Malang, tanggal 1-4 April 2010.

Add comment


Security code
Refresh

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Samarinda

JL. Ir. H. JUANDA NO 64. SAMARINDA
KALIMANTAN TIMUR

 

Telp: 0541-742018

Fax : 0541-7773747

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Email Tabayun : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

fb.logo instagram 1581266 960 720

maps1 Lokasi Kantor

Copyright IT Support PA.Smd@2024
Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech